Selamat Datang di moehsoulmount.blogspot.com

Monday, August 23, 2010

ketika sebuah perjalanan dimulai..
tak bisa lagi untuk berbalik arah..
kaki sudah terasa lelah..
tak dapat menggapai apa yang menjadi asa..

kini semua telah berlalu.
kau pergi tinggalkan aku sendiri tanpamu..
masih kuat ingatan itu..
janji manis yang kau ucap saat itu..

dimana masa yang ku damba..
kini semua telah sirna..
asa tinggallah asa...
tak kan mungkin lagi menjadi nyata..

biarpun luka semakin menganga..
kutahan perih semakin terasa...
akankah datang kesembuhannya..
aku sudah tak sanggup lagi menahannya..

MAKALAH

SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM DI JAWA TIMUR

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam



Disusun Oleh :

Muh. Sholihin

26.09.3.4.013

NON REGULER

JURUSAN TARBIYAH PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SURAKARTA

TAHUN 2010



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada tahun 30 Hijriah atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.

Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengIslaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.

Penyebaran di daerah Jawa dilakukan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Penyebaran di daerah Jawa Timur dilakukan oleh Syeikh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan wali tertua dari para anggota walisongo. Penyebaran agama Islam dilakukan dengan beberapa cara yaitu dengan cara perkawinan, berdakwah dan dengan pondok pesantren.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses pendidikan atau penyebaran agama Islam di Jawa Timur ?

2. Apa yang dimaksud dengan Pondok Pesantren ?

3. Apa saja unsur-unsur Pondok Pesantren ?

4. Bagaimana pendidikan dan sejarah madrasah di Jawa Timur ?

C. Tujuan

1. Dapat mengetahui bagaimana proses pendidikan atau penyebaran Islam di Jawa Timur.

2. Dapat mengetahui apa yang dimaksud Pondok Pesantren.

3. Dapat mengetahui unsur-unsur dari Pondok Pesantren.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Masuknya Islam di Jawa Timur

Tidak berbeda dengan proses masuknya Islam secara umum ke nusantara, proses masuknya Islam ke Jawa Timur juga dilakukan dengan cara yang sama.

Pendidikan Islam di Jawa Timur pertama kali dibawa oleh seorang dari Persia yang dikenal dengan nama Sunan Maulana Malik Ibrahim atau sering disebut juga dengan sebutan Sunan Gresik, Syekh Maghribi, atau terkadang Makhdum Ibrahim As Samarkandi, ada yang memanggilnya Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-11 dari Husain bin Ali

Maulana Malik Ibrahim merupakan wali pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.

Pendidikan yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dilakukan dengan beberapa cara yaitu :

1. Perdagangan dan Perkawinan

Dengan menunggu angin muson (6 bulan), pedagang mengadakan perkawinan dengan penduduk asli. Dari perkawinan itulah terjadi interaksi sosial yang menghantarkan Islam berkembang (masyarakat Islam)

2. Pembentukan masyarakat Islam dari tingkat ‘bawah’ dari rakyat lapisan bawah, kemudian berpengaruh ke kaum birokrat (J.C. Van Leur).

3. Gerakan Dakwah, melalui dua jalur yaitu :

a. Ulama keliling menyebarkan agama Islam (dengan pendekatan akulturasi dan sinkretisasi/lambang-lambang budaya).

b. Pendidikan pesantren (ngasu ilmu / perigi / sumur), melalui lembaga/ sistem pendidikan Pondok Pesantren, Kyai sebagai pemimpin, dan santri sebagai murid.

Dari ketiga model perkembangan Islam itu, secara realitas Islam sangat diminati dan cepat berkembang di Indonesia. Meskipun demikian, intensitas pemahaman dan aktualisasi keberagman Islam bervariasi menurut kemampuan masyarakat dalam mencernanya.

Ditemukan dalam sejarah, bahwa komunitas pesantrean lebih intens keberagamannya, dan memiliki hubungan komunikasi “ukhuwah” (persaudaraan / ikatan darah dan agama) yang kuat. Proses terjadinya hubungan “ukhuwah” itu menunjukkan bahwa dunia pesantren memiliki komunikasi dan kemudian menjadi tulang punggung dalam melawan kolonial.

B. Sejarah Pondok Pesantren

Tradisi pesantren merupakan kerangka sistem pendidikan Islam tradisional di Pulau Jawa dan Madura yang dalam perjalanan sejarah telah menjadi objek penelitian para sarjana yang mempelajari Islam di Indonesia.

Pondok pesantren adalah dua buah kata yang mempunyai satu kesatuan makna. Kata "pondok",barangkali, berasal dan pengertian asrama-asrama para santri, atau tempat tinggal yang dibuat dan bambu, atau barangkali berasal dan kata Arab Funduk yang berarti hotel atau asrama.

Sedangkan kata pesantren berasal dan kata santri yang dengan awalan pe- dan akhiran -an, yang berarti tempat tinggal para santri. Profesor Jhons berpendapat bahwa istilah santri berasal dan bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Sedang C.C.Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dan kata shastri, yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agam Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.

Kata santri berasal dan kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Sementara Geertz menduga, bahwa pengertian santri mungkin berasal dan bahasa sangsekerta "shastri", yang berarti ilmuan Hindu yang pandai menulis, yang dalam pemakaian bahasa modern memiliki arti yang sempit dan arti yang luas.

Dalam arti sempit, ialah seorang pelajar yang belajar disekolah agama atau yang biasa disebut pondok pesantren, sedang dalam arti yang lebih luas, santri mengacu pada bagian anggota penduduk Jawa yang menganut Islam dengan sungguh-sungguh, yang bersembahyang ke masjid pada hari Jumat, dan sebagainya. Sedangkan Soegarda Poerbakawatja menyatakan bahwa tradisi pesantren itu bukan berasal dan sistem pendidikan Islam di Makkah, melainkan dari Hindu dengan melihat seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dari para murid yang keluar meminta-minta diluar lingkungan pondok. Juga letak pesantren yang didirikan di luar kota dapat dijadikan alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren dari Hindu dan pendapat serupa dikemukakan juga oleh Van Bruinessen.

Terlepas dari semua itu, karena yang dimaksud istilah pesantren dalam pembahasan ini adalah sebuah lembaga pendidikan dan pengembangan agama Islam di tanah air, khususnya di Pulau Jawa, dimulai dan dibawa oleh Walisongo. Maka model pesantren di Pulau Jawa juga mulai berdiri dan berkembang sezaman dengan Walisongo. Karena itu tidak berlebihan bila dikatakan pondok pesantren yang pertama berdiri adalah pondok pesantren yang didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Syekh Maghribi, ini karena Syekh Maulana Malik Ibrahim wafat pada 12 Rabiul Awal 882 H bertepatan dengan 8 April 1419 M. Syekh Maulana Malik Ibrahim dikenal juga dengan nama Sunan Gresik dimana beliau adalah orang pertama dari sembilan wali yang terkenal dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa. Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pesantren Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga santri, yaitu Wiryo Suroso, Abu Hurairoh dan Kyai Kebang Kuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya, dan mendirikan pondok pesantren di sana.

Akhirya beliau dikenal dengan sebutan Sunan Ampel. Sedangkan Mastuhu berpendapat bahwa kapan pesantren pertama kali didirikan dan oleh siapa, tidak ada keterangan yang pasti. Dan hasil pendataan pendataan Departemen Agama pada tahun 1984-1985, diperoleh keterangan bahwa pesantren tertua didirikan pada tahun 1062, atas nama Pesantren Tan Jampes II di Pamekasan, Madura.

Tetapi hal ini diragukan karena tentunya Pesantren Tan Jampes I yang lebih tua, dan dalam buku Departemen Agama tersebut banyak dicantumkan pesantren tanpa tahun pendirian. Jadi, mungkin mereka memiliki usia yang lebih tua. Mastuhu menambahkan bahwa pesantren telah mulai dikenal di bumi nusantara ini dalam periode abad ke-13 sampai 17 M, dan di Pulau Jawa pada abad ke-15 sampai 16 M. Melalui data sejarah tentang masuknya Islam di Indonesia, yang bersifat global atau makro tersebut, sangat sulit menentukan tahun berapa dan dimana pesantren pertama kali didirikan.

Dalam dunia pesantren, menurut Zamakhsari Dhofier, terdapat lima elemen dasar yang menjadi unsur pesantren, yaitu pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, dan kyai. Sedangkan Soedjoko Piasodjo menggambarkan bahwa elemen dasar dan tradisi pesantren tergantung dan pola pesantrennya, dari yang paling sederhana sampai yang paling maju. Pola I ialah pesantren yang terdiri dari hanya masjid dan rumah kyai, Pola II ialah pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kyai, dan pondok. Pola III ialah pesantren yang terdiri dan masjid, rumah kyai, pondok dan madrasah. Pola IV terdiri dan masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, dan tempat keterampilan. Dan Pola V ialah pesantren yang terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, madrasah, tempat keterampilan, universitas, gedung pertemuan, tempat olah raga dan sekolah umum.

1. Pondok

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk nilai-nilai tersebut diperlukan gemblengan yang matang kepadanya, dan untuk memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di bawah bimbingan seorang kyai. Pada kebanyakan pesantren dahulu, seluruh komplek bukan merupakan milik kyai saja, melainkan milik masyarakat, hal ini disebabkan karena para kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai pendanaan dan perkembangan pesantren dari masyarakat. Ada tiga alasan mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi santri, yaitu : Pertama, kemasyuran seorang kyai dan kedalaman ilmu pengetahuannya tentang Islam menarik santri dari jauh, untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama. Para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya, dan menetap di kediaman kyai.Kedua, hampir semua pesantren berada di desa desa-desa, di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat menampung para santr, dengan demkian perlulah adanya suatu asrama khusus bagi para santri.

Ketiga, adalah sikap tinbaI balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap para kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi.

2. Masjid

Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam. Charles Michael Stanton menulis bahwa pendidikan formal yang ada dalam Islam berawal dari Masjid, dengan kegiatan halaqah yang diadakan didalamnya. Begitu juga daIan pondok pesantren, masjid di jadikan sebagai pusat pendidikan, dan merupakan manivestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisionaI. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam tradisional terpusat pada masjid. Selain itu, seorang kyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang pertama didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian berarti Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho Allah SWT .

3. Santri

Santri adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri, ini merupakan prasyarat mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kyai dalam arti sepenuhnya. Dengan kata lain, ia harus memperoleh kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan yang mrupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal dipesantren dengan nama "barokah", adalah alasan tempat berpijaknya santri di dalam menuntut ilmu. Menurut Zamaksani Dhofier, ada dua kelompok santri, yaitu:

a. Santri Mukim, yaitu murid-murid yang berasal dan daerah yang jauh dan menetap dalam pondok pesantren.

b. Santri Kalong, yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap di pesantren.

4. Kitab Kuning

Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan pemikir muslim lainnya di masa lampau, hususnya yang berasal dari Timur Tengah. Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas "kekuning-kuningan". Harus diakui, sulit untuk melacak kapan waktu persis mulai terjadinya penyebaran dan pembentukan awal tradisi Kitab Kuning di Indonesia. Historiografi tradisional dan berbagai catatan baik lokal maupun asing tentang penyebaran agama Islam di Indonesia, tidak menyebutkan judul- judul kitab yang digunakan di dalam masa-masa awal perkembangan Islam di Indonesia. Meski ada beberapa historiografi tradisional, seperti Hikayat Raja-raja Pasai, Sejarah Melayu, dan semacamnya juga menyinggung masalah-masalah yang berkenaan dengan syari’ah atau fiqih dan masalah-masalah keimanan.

Mereka umumnya tidak memberikan rujukan kepada kitab-kitab tertentu. Begitu pula, kitab undang-undang di berbagai kesultanan, yang sering mengutip ketentuan-ketentuan fiqih Syafi’i misalnya, juga tidak menjelaskan kitab rujukannya dan tentu saja tidak menyinggung apakah kitab-kitab itu juga bisa ditemukan di Nusantara. Penelitian Van den Berg tentang buku- buku yang digunakan di lingkungan pesantrnt di pulau Jawa dan Madura pada abad 19 memang mendaftar adanya kitab-kitab yang ditulis para ulama Timur Tengah sejak abad 9 dan seterusnya; tetapi ini tidak berarti bahwa kitab-kitab itu telah beredar di Indonesia tak lama setelah kitab-kitab tersebut ditulis pengarang atau penyalinnya di Timur Tengah.

5. Kyai

Menurut Martin Van Bruinessen, kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat (takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada santri. Daudd Rasyid menambahkan, kyai dan santri akan berinteraksi secara kontiniu dan lama di pesantren, sehingga seluruh kegiatan santri dapat diawasi dan dibentuk oleh kyni. Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Allah dan rahasia alam. Dengan demikian, kyai dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang biasa. Karena karomahnya, santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang luas pada kyai, dan biasanya mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang bisa mewarisi karomahnya tersebut seperi keturunannya dan santri kepercayaannya.

C. Perkembangan Pondok Pesantren di Jawa Timur

Pondok pesantren dikenal sebagai model sistem pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Keberadaannya mengilhami model dan sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Ia bahkan tidak lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Karenanya banyak pakar, baik lokal maupun internasional melirik Pondok Pesantren sebagai bahan kajian. Tidak jarang beberapa tesis dan disertasi menulis tentang lembaga pendidikan Islam tertua ini.

Dalam catatan sejarah, Pondok Pesantren dikenal di Indonesia sejak zaman Walisongo. Ketika itu Sunan Ampel mendirikan sebuah padepokan di Ampel Surabaya dan menjadikannya pusat pendidikan di Jawa. Para santri yang berasal dari pulau Jawa datang untuk menuntut ilmu agama. Bahkan di antara para santri ada yang berasal dari Gowa dan Talo, Sulawesi.

Pesantren Ampel merupakan cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren di Tanah Air. Sebab para santri setelah menyelesaikan studinya merasa berkewajiban mengamalkan ilmunya di daerahnya masing-masing. Maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dengan mengikuti pada apa yang mereka dapatkan di Pesantren Ampel.

Kesederhanaan pesantren dahulu sangat terlihat, baik segi fisik bangunan, metode, bahan kajian dan perangkat belajar lainnya. Hal itu dilatarbelakangi kondisi masyarakat dan ekonomi yang ada pada waktu itu. Yang menjadi ciri khas dari lembaga ini adalah rasa keikhlasan yang dimiliki para santri dan sang Kyai. Hubungan mereka tidak hanya sekedar sebagai murid dan guru, tapi lebih seperti anak dan orang tua. Tidak heran bila santri merasa kerasan tinggal di pesantren walau dengan segala kesederhanaannya. Bentuk keikhlasan itu terlihat dengan tidak dipungutnya sejumlah bayaran tertentu dari para santri, mereka bersama-sama bertani atau berdagang dan hasilnya dipergunakan untuk kebutuhan hidup mereka dan pembiayaan fisik lembaga, seperti lampu, bangku belajar, tinta, tikar dan lain sebagainya.

Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu, tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada, materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Ha litu karena mereka memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi fiqih karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau “nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri atau keputusan sang Kyai bila dipandang santri telah cukup menempuh studi padanya. Biasanya sang Kyai menganjurkan santri tersebut untuk nyantri di tempat lain atau mengamalkan ilmunya di daerah masing-masing. Para santri yang tekun biasanya diberi “ijazah” dari sang Kyai.

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa Tengah dan Timur.

Pesantren dengan metode dan keadaan di atas kini telah mengalami reformasi, meski beberapa materi, metode dan sistem masih dipertahankan. Namun keadaan fisik bangunan dan masa studi telah terjadi pembenahan. Contoh bentuk terakhir ini terdapat pada Pondok Pesantren Tebu Ireng dan Tegalrejo.

Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan. Periodisasi ini tidak menafikan adanya pesantren sebelum munculnya Ampel dan Gontor. Sebelum Ampel muncul, telah berdiri pesantren yang dibina oleh Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Demikian juga halnya dengan Gontor, sebelumnya telah ada –yang justru menjadi cikal bakal Gontor- pesantren Tawalib, Sumatera. Pembagian di atas didasarkan pada besarnya pengaruh kedua aliran dalam sejarah kepesantrenan di Indonesia.

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.

Dalam hal ini, Gontor telah berani melangkah maju menuju perubahan yang saat itu masih dianggap tabu. Namun demikian bukan tidak beralasan. Penggunaan dasi dan celana yang diterapkan Gontor adalah untuk mendobrak mitos bahwa santri selalu terkebelakang dan ketinggalan zaman. Prinsip ini tercermin dengan masuknya materi bahasa inggris menjadi pelajaran utama setelah bahasa Arab dan agama, dengan tujuan agar santri dapat mengikuti perkembangan zaman dan mampu mewarnai masyarakat dengan segala perubahannya.

Beberapa reformasi dalam sistem pendidikan pesantren yang dilakukan Gontor antara lain dapat disimpulkan pada beberapa hal. Di antaranya: tidak bermazdhab, penerapan organisasi, sistem kepimimpinan sang Kyai yang tdak mengenal sistem waris dan keturunan, memasukkan materi umum dan bahasa Inggris, tidak mengenal bahasa daerah, penggunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan percakapan, olah raga dengan segala cabangnya dan lain-lain. Oleh karena itu Gontor mempunayi empat prinsip, yaitu: berbudi tinggi, berbadan sehat, berpikiran bebas dan berpengetahuan luas.

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang kemerdekaan dan mereka yang memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini. Atas dasar itu pula penulis membagi sejarah sistem pendidikan pesantren kepada dua pase; pase Ampel dan pase Gontor.

Satu persamaan yang dimilki dua madzhab ini adalah bahwa kedua-duanya tidak mengeluarkan ijazah negeri kepada alumninya, dengan keyakinan bahwa pengakuan masyarakatlah sebagai ijazahnya.

Langkah reformasi di atas tidak berarti Gontor lebih unggul di segala bidang, terbukti kemampuan membaca kitab kuning (turost) masih dikuasai alumni mazdhab Ampel dibanding alumni mazdhab Gontor.

D. Pendidikan Madrasah

Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) didirikan oleh KH. Abdus Salam seorang keturunan raja Majapahit, pada tahun 1838 M di desa Tambakberas, 5 km arah utara kota Jombang Jawa Timur. Banyak cerita yang mengisahkan kenapa KH. Abdus Salam seorang keturunan ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker.

KH. Abdus Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk bersembunyi menghindari kejaran tentara Belanda. Bersama pengikutnya ia kemudian membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushalla) dan tempat pondokan sementara buat 25 orang pengikutnya. Karena itu, pondok pesantren itu juga dikenal pondok selawe (dua puluh lima).

Perkembangan pondok pesantren ini mulai menonjol saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, cicit KH. Abdus Salam. Setelah kembali dari belajar di Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi piondok pesantren. Ia yang pertama kali mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon yang kemudian dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya pada tahun 1926.
Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri NU ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971.

Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim. Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab.

Dibawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin membludaknya santri yang belajar di pondok pesantren yang telah banyak menghasilkan ulama dan politisi.KH. Abdurrahman Wahid mantan presiden ke 4 RI juga alumni pesantren yang sering kedatangan tamu dari pemerintah pusat ini. Santri yang belajar di PPBU tidak hanya datang dari daerah Jombang saja tapi juga dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga dari Brunei Darussalam dan Malaysia.
Sampai tahun 2003 ini PPBU dihuni hampir 10.000 santri. Untuk menampung santri, pesantren membuat asrama dalam komplek-komplek pemukiman yang terpisah-pisah, tetapi tetap dibawah pengawasan pondok induk. Dan setiap kompek diawasi dan diasuh oleh seorang kiai. Komplek-komplek tersebut meliputi; komplek pondok induk Al-Muhajirin I, II, III dan IV, Al-Muhajiraat I, II, III dan IV, As-Sa’idiyah putra, As-Sa’idiyah putri, Al-Muhibbin I dan II, Ar-Roudloh, Al-Ghozali, Al-Hikmah , Al-wahabiyah, Al-Fathimiyah, Al-Lathifiyah I dan II dan an-Najiyah.

Seiring dengan perkembangan pesantren yang semakin pesat, pengelolaan pesantren dilakukan secara profesional. Kegiatan pesantren sehari-hari tidak langsung ditangani oelh pengasuh. Tetapi diserahkan kepada pengurus Bahrul Ulum yang terdiri dari para Gus dan Ning (putra kiai), ustadz, ustadzah dan santri senior. Untuk operasionalnya dibentuk bidang-bidang dengan distribusi tugas secara teratur.

Selain itu, santri juga bisa mengikuti berbagai organisasi penunjuang dalam lingkungan pesantren seperti, Jam’iyyah Qurro’ wa; Huffadh (JQH), Forum Kajian Islam (FKI), Corp Dakwah Santri Bahrul Ulum (CDS BU), Koppontren Bahrul Ulum, OSIS ada disetiap sekolah dan madrasah., Keluarga Pelajar Madrasah Bahrul Ulum, Organisasi Daerah (ORDA) organisasi ini merupakan wadah santri menurut asal daerah santri, Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (SM STT).

Kegiatan belajar santri PPBU dalam kesehariannya sangat variatif dan diklasifikasikan menurut jenjang pendidikannya masing-masing. Namun secara umum pengajian kitab salaf (literatur klasik) sangat menonjol. Disamping itu, santri juga diwajibkan mengikuti Madrasah Al-qur’an dan Madrasah Diniyah. Prgram takrorud durus (jam wajib belajar) waktunya ditetapkan oleh pengurus harian Bahrul Ulum.
PPBU juga menyelenggarakan kegiatan sosial seperti, sunatan massal, bakti sosial, penyuluhan masyarakat, pengiriman dai ke daerah-daerah tertinggal, panti anak yatim dan lain sebagainya.

Sebagai kaderisasi pesantren, agar kelangsungan pendidikan agama tetap berjalan dan tidak mengalami kemunduiran apalagi sampai pesantren mengalami bubar, para pengasuh mengirimkan putra-putri belajar ke pesantren lain juga menimba ilmu di perguruan tinggi, seperti putra KH. M. Sholeh ada yang dikirim belajar ke pesantren Lirboyo Kediri.
Penyelenggaraan Pendidikan

Pondok Pesantren Bahrul Ulum secara umum menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal. Untuk pendidikan formal mengacu pada kuriklum DEPAG dan DIKNAS. Adapun yang mengikuti kurikulum DEPAG, meliputi MI (Madrasah Ibtidaiyah) Bahrul Ulum, MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Bahrul Ulum, MTs (Madrasah Tsanawiyah) Bahrul Ulum, MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Bahrul Ulum dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Bahrul Ulum. Sedangkan pendidikan fromal yang mengikuti kurikulum DIKNAS meliputi, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bahrul Ulum, Sekolah Menengah Umum (SMU) Bahrul Ulum dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tehnik Bahrul Ulum.
Walaupun kegiatan pendidikan formal sangat padat, namun pengajian dan pendidikan kitab salaf tetap sangat dipentingkan. Dan sistem tradisional seperti sorogan, bandongan , wkton, takhassus, takror, tahfidh dan tadarrus tetap dipertahankan. Adapun jenjang pendidikan salaf meliputi TK, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Ibtidaiyah Program Khusus, Madrasah Diniyah, Madrasah Al-Qur’an, Madrasah Mu’allimin / Mu’allimat Atas dan Madrasah I’dadiyah Lil Jami’ah.

Selain itu PPBU dalam ikut mengembangkan minat dan bakat para santri juga memberikan kegiatan ekstra kurikuler, seperti majalah pesantren Menara, Marching Band, komputer, menjahit, elektronika, seni hadrah, seni qasidah, tata busana, tata boga, bela diri, pramuka, palang merah remaja (PMR), unit kesehatan sekolah (UKS) dan karya ilmiyah remaja. Disamping itu, pesantren juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan ekstra keagamaan seperti pelatihan jurnalistik, bahasa asing, penelitian, kepemimpinan, kepustakaan, keorganisasian, advokasi masyarakat, kewirausahaan, manasik haji, seni baca Al-Qur’an , khutbah, pidato, bahtsul masail, diba’iyyah dan lain sebagainya. (depag/mus)

BAB III

PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya pesantren telah banyak memberikan andil bagi bangsa Indoneisa, baik dahulu maupun kini. Kehandalan pondok pesantren selama berabad-abad, walau dengan segala kesederhanaannya masih menjadi harapan umat Islam sebagai benteng satu-satunya bagi umat Islam dan kelimiahannya. Karena dari sanalah lahir generasi-generasi yang melanjutkan da’wah Islam. Tidak aneh bila ada anggapan bahwa para orientalis mulai menggeluti sosiologi pesantren untuk mencari titik yang dapat melemahkan kesinambungannya demi pengikisan Islam di Indonesia, baik melaui cara halus maupun kasar.

Walau bagaimana tangguhnya sebuah pesantren ia harus tetap belajar dengan lingkungan sekitarnya sambil melestarikan identitas keislamannya. Sistem fiqih orientied yang diterapkan pada masa Ampel misalnya, pada zaman kini dirasa kurang berhasil melahirkan alumni yang iltizam dengan agamanya, terbukti adanya sebagian santri setelah lulus dari pesantrennya kurang mengamalkan ajaran agamanya. Karena sekeluarnya dari almamater, dalam jiwanya merasa telah bebas dari segala peraturan dan tata tertib pesantren, padahal sebenarnya sebagian besar tata tertib itu adalah bagian dari ajaran Islam, seperti berjilbab, sholat berjamaah, membaca al-Quran, menjauhi yang haram dan syubhat, melakukan hal yang sunah dan lain sebagainya.

Oleh karena itu perlu adanya upaya memberi materi Islam secara kaffah, kamil dan mutakamil. Sehingga pemahaman dan sikapnya terhadap Islam pun bersifat komprehensif, dan tidak sepenggal-penggal.

Keanekaragaman lembaga pendidikan Islam merupakan khazanah yang perlu dilestarikan. Setiap lembaga mempunyai ciri khas dan orientasi masing-masing, namun demikian harus ada satu komitmen, yaitu memberi pemahaman Islam secara kaffah demi izzul Islam wal muslimin.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.ikdar.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=53

http://tebuireng.net/index.php?pilih=hal&id=4

http://sunatullah.com/wali-songo/maulana-malik-ibrahim.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo

http://suara-santri.tripod.com/files/pesantren/pesantren3.htm